Thursday, October 26, 2017

MAKALAH HADITS TARBAWI TENTANG ADAB BELAJAR

DAFTAR ISI


DAFTAR ISI..................................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1
A.    Latar Belakang........................................................................................................1
B.     Rumusan Masalah..................................................................................................1
C.     Tujuan Masalah......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................. 2
A.    Definisi Adab Belajar.............................................................................................. 2
B.     Eksplorasi dan Elaborasi Hadist – Hadist Tentang Adab Belajar........................... 5
C.     Syarah dari Hadist – Hadist Tentang Adab Belajar................................................ 8
D.    Adab Belajar Menurut Para Ahli............................................................................ 10
E.     Refleksi dan Hikmah Hadist................................................................................... 12
BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 13
A.   Kesimpulan.............................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... ii
\

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LatarBelakang
Manusia diciptakan Allah Ta’ala secara sempurna di alam ini. Hakekatmanusia yangmenjadikan ia berbeda dengan lainnya adalah bahwasesungguhnya manusia yang membutuhkan bimbingan dan pendidikan.Hanya melalui pendidikan manusia sebagai homo educable dapat dididik,dengan pelantara guru. Dan pendidikan sebagai alat yang ampuh untukmengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri manusia. Sehinggaia mampu menjadi khalifah di bumi, pendukung dan pengembang kebudayaan.
B.     Rumusan Masalah
1.     Bagaimanakah Adab menuntut ilmu dalam Perspektif Hadist?

C.    Tujuan Masalah
1.     Mengetahui Adab menuntut ilmu dalam perspektif Hadis




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Adab Belajar
Ta’dib secara Etimologi merupakan bentuk masdar kata kerja addaba yang berarti ‘mendidik, melatih berdisiplin, memperbaiki, mengambil tindakan, beradab, sopan, berbudi baik, mengikuti jejak akhlaknya.[1]
Dalam salah satu hadis Rasulullah bersabda:
أدًّبّي رَبِّي فأحْسَنَ تَأديي(أخر جه العسكري عن علي)
“Tuhanku mengajarkan adab kepadaku maka Dialah yang memperindah adabku.”(HR. al-‘Askariy dari Ali)
Al-Zarkasiy dalam Faydh al-Qadir Syarah al-Jami ‘al-Shaghir menyebutkan bahwa Hadis ini sekalipun dha’if tetapi maknanya shahih.
Kata ta’dib pada umumnya lebih banyak digunakan pada pendidikan yang bersifat keterapilan lahir yakni latihan dan keterampilan. Ia berasal dari kata adab, yang berarti etika, sopan santun, dan budi pekerti lebih tepat diartikan mengajarkan adab atau diartikan memberi pelajaran atau hukuman.[2]
Ayat Al-Quran yang berhubungan dengan adab menuntut ilmu antara lain:
  1. orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Mujadillah:11)
Menurut Ibnu Qayyim, kata adab berasal dari kata ma’dubah. Katama’dubah berarti’jamuan atau hidangan’, dengan kata kerja ”adaba-ya’dibu’’yang berarti ‘menjamu atau menghidangkan makanan. Kata adab dalam tradisi Arab kuno merupakan symbol kedermawanan, dimana al-Adib (pemiik hidangan) mengundang banyak orang untuk duduk bersana menyantap hidangan di rumahnya. Sebagaimana yang terdapat dalam perkataan Tharafah bin Abdul Bakri al-Wa’illi, “Pada musim paceklik (musim kesulitan pangan), kami mengundang orang-orang ke perjamuan makan, dan engkau tidak akan melihat para penjamu dari kalangan kami memilih-milih orang yang diundang”.
Kemudian kata ini berkembang seiring dengan perkembangan peradaban islam, sebagai sebuah simbol nilai agung yang ada dalam islam. Hal ini bisa kita lihat dalam hadist berikut ini, yang menjelaskan kata adab sebagai hidangan yang ada di dalamnya syarat dengan nilai. “sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan Allah dimuka bumi, oleh karena itu Belajarlah kalian pada sumber peradaban-nya.”[3]
Kata ta’dib ataual-adab ini dipopulerkan oleh Imam al-Bukhari dalamadab al-mufrad, al-mawardi dalam kitabnya Adab al-Muallimin wa al-Rawi wa Adab al-sami’ serta Ibn Jama’ah dalam kitabnya Tadzkirah al- sami’ wa al-Mutakallim fii Adab al-Alim wa al-Muta’allim.
Sementara itu, kata adab juga sering dipakai dalam hadits untuk menunjuk kata pendidikan. Hal itu sebagaimana sabda Nabi saw. Berikut ini, “Tuhan telah mendidikkudan telah membuat pendidikanku itu sebaik-baiknya”, “Setiap pendidik akan menyukai diberikan alat mendidik, dan sesungguhnya pendidikan dari Allah itu adalah Al-Qur’an, aka janganlah kalian menjauhinya”.
Menurutal-attas, istilah ta’dib adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan, karena pada dasarnya pendidikan Islam bertujuan untuk melahirkan manusia yang beradab. Sementara istilahtarbiyah terlalu luas karena pendidikan, dalam istilah ini mencakup pendidikan untuk hewan.[4]  Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa istila Ta’dib merupakan masdar kata kerja addaba yang berarti pendidikan. Kemudian, dari kata addabaini diturunkan juga kata adabun. Menurut al-attas, adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniyah seseorang. Al-attas mengatakan bahwa adab adalah pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan derajat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta. Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan, seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. Keduanya sia-sia karena yang satu menyifatkan ketiadasadaran dan kejahilan.[5]
Berdasarkan pengerian adab seperti itu, al-Attas mendifinisikan pendidikan menurut islam sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud, sehingga hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat tuhan yang tepat didalam tatanan wujud tersebut.[6]
Pendapat al-Attas mengenai Ta’dib, dikuatkan oleh Sa’dudin Mansur Muhammad. Ia beralasan bahwa istilah Ta’dib merupakan istilah yang mencakup semua aspek dalam pendidikan baik unsure tarbiyah maupun taklim. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa istilah ta’dib sudah dikenal sejak zaman jahiliah dan dikuatkan setelah datangnya Nabi Muhammad saw.
Alasan yang lebih mendasar yang melatar belakangi al-Attas memilih istilah ta’dib adalah, adab berkaitan erat dengan ilmu, sebab ilmu tidak dapat diajarkan atau ditularkan kepada anak didik, kecuali jika orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang.
Kemudian, konsep pendidikan Islam yang hanya terbatas pada makna tarbiyah dan taklim itu telah dirasuki pandangan hidup barat yang berlandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme, humanism, dan sofisme, sehingga nilai-nilai adab menjadi kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah Ilahiah. Kekaburan makna adab tersebut mengakibatkan kezaliman, kebodohan, dan kegilaan. Kezaliman yang dimaksud disini adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, sementara kebodohan adalah melakukan cara yang salah untuk mencapai hasil tujuan tertentu, dan kegilian adalah perjuangan yang berdasarkan tujuan dan maksud yang salah.
Istilah adab juga merupakan salah satu istilah yang identik dengan pendidikan akhlak, bahkan Ibn Qayyim berpendapat bahwa adab adalah inti dari akhlak, karena didalamnya mencakup semua kebaikan. Lebih dari itu, konsep adab ini, pada akhirnya berperan sebagai pembeda antara pendidikan karakter dengan pendidikan akhlak. Orang berkarakter tidaklah cukup, karena pendidikan karakter hanya berdimensi pada nilai-nilai dan norma-norma kemanusian aja (makhluk), tanpa memperhatikan dimensi ketauhidan Ilahiyah (khaliq). Sehingga orang berkarakter belum bias disebut berakhlak, karena bisa jadi orang berkarakter “toleransi” ia mengikuti paham pluralism sehingga memukul rata semua agama tanpa batasan norma syari’at. Sementara dalam pendidikan akhlak mengintegrasikan kedua dimensi tersebut, yakni nilai kemanusiaan (makhluk) dan nilai uluhiyah (khaliq) adalah hal yang wajib, dan tidak boleh dipisah-pisahkan. Sehingga orang berakhlak, secara langsung mencakup orang yang berkarakter. Dengan demikian, pendidikan akhlak atau adab adalah lebih syumul ‘mencakup’ daripada pendidikan karakter.
B.     Eksplorasi dan Elaborasi Hadist – Hadist Tentang Adab Belajar
Hadist 1 :
Hormat dan Santun terhadap Guru
     Memiliki rasa hormat dan bersikap santun terhadap guru adalah prilaku yang harus dimiliki dalam menuntut ilmu. Guru adalah orang yang memberikan kita ilmu, yang dengan ilmu itu kita akan menjadi orang mulia baik didunia maupun diakhirat. Dan salah satu cara untuk memuliakan guru adalah bersikap hormat dan santun kepadanya sebagai cerimanan sikap kerendahan hati. Sebagai mana sabda Rasulullah :
تَعَلّمُواالعِلْمَ وَتَعَلّمُوْا لِلْعِلْمِ السّكِيْنَةَ وَالْوَقَا رَ وَتَوَاضَعُوْا لِمَنْ تَتَعَلّمُوانَ مِنْهُArtinya :
     "Belajarlah kalian ilmu untuk ketentraman dan ketenangan serta rendah hatilah pada orang yang kamu belajar darinya". HR.At-Tabrani.

Hadis ke 2
Mengamalkan Ilmu Pengetahuan
ٲخبرﻧﺎأحمد بن ٲسد حد ثﻧﺎ ﻋبر ﻋﻦ برد بﻦ سﻧﺎن ﻋﻥ ﺴﻠﻴﻤﺎﻦ بﻥ ﻤﻮﺴﯽاﻠﺪ ﻣﺸﻗﯥ ﻋﻦ ﺃﺒﯥﺍﻠﺪﺮﺪﺍﺀﻗﺍﻠاﺗﮑﻮﻦ ﻋﺍﻠﻤﺍ ﺤﺗﻰ ﺗﮑﻮﻦ ﻤﺗﻌﻠﻤﺎﻮﻠﺎﺗﻜﻮﻦﺒﺎﻠﻌﻠﻢ ﻋﺎﻠﻤﺎﺤﺗﻰﺗﮑﻮﻦﺒﻪﻋﺎﻤﻠﺎﻮﻜﻔﻰﺒﻚﺇﺜﻤﺎﺃﻦﻠﺎﺘﺰﺍﻞﻤﺨﺎﺼﻤﺎﻮﻜﻔﻰﺒﻚﺇﺜﻤﺎﺃﻦﻠﺎﺘﺰﺍﻞﻤﻤﺎﺮﻠﺎﻮ
ﻭﻜﻔﻰﺒﻚﻜﺎﺬﺒﺎﺃﻦﻠﺎﮅﺰﺍﻞﻤﺤﺪﺛﺎﻔﻲﻏﻳﺮﺫﺍﺖﺍﻠﻟﻪ-ﺍﻠﺫﺍﺮﻤﯽ[7]
“ Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Asad telah menceritakan kepada kami ‘Abtsar dari Burd bin sinan dari Sulaiman bin Musa Ad Dimasyqi dari Abu Darda’ radiallahu ‘anhu ia berkata : “ kamu tidak akan menjadi seorang ulama hingga kamu menajadi seorang penuntut ilmu (lebih dahulu), dan dengan ilmu pun kamu tidak akan menjadi seorang ulama hingga kamu mengamalkannya. Kamu di anggap berdosa jika kamu bersikap membantah, kamu di anggap berdosa jika kamu suka berdebat (hanya untuk menang), serta kamu dianggap sebagai pendusta jika kamu bercerita selain zat Allah.

Hadist Ke 3 :
Menuntut Ilmu Karena Allah
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﺃﺒﻮ ﺒﻛﺮ ﺒﻦ ﺃﻲ  ﺷﻴﺒﺔ ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﺴﺮ ﺒﺢ ﺒﻦ ﺍﻠﻨﻌﻣﺎﻦ ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﻔﻠﻴﺢ ﻋﻦ ﺍﺒﻲﻃﻮﺍﻠﺔ ﻋﺒﺪ ﺍﻠﻠﻪ ﺒﻦ ﻋﺒﺪﺍﻠﺮﺤﻤﻦ ﺒﻦ ﻣﻌﻤﺮﺍﻠﺎﻧﺼﺎﺮﻱ ﻋﻦﺴﻌﻴﺪﺒﻦ ﺴﺎﺮﻋﻦﺍﺒﻲ ﻫﺮﻴﺮﺓ ﻗﺎﻞ ﺮﺴﻮﻞﺍﻠﻠﻪ ﺼﻠﻰﺍﻠﻠﻪﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻡ ﻣﻦ ﺘﻌﻠﻡ ﻋﻠﻡ ﻤﻣﺎ ﻴﺒﻐﻰ ﺒﻪ ﻭﺠﻪﺍﻠﻠﻪ ﻋﺰﻮﺠﻞﻠﺎﻴﺘﻌﻠﻣﻪ ﺇﻠﺎ ﻠﻴﺼﺐ ﺑﻪ ﻋﺮﺿﺎ ﻣﻦ ﺍﻠﺪﻧﻴﺎ ﻠﻢ ﻴﺤﺪ ﻋﺮﻒ ﺍﻠﺠﻧﺔ ﻴﻮﻡﺍﻗﻴﺎﻤﺔ ﻴﻌﻧﻲ ﺮﻴﺣﻬﺎ- ﺍﺒﻮﺪﺍﻮﺪ[8]
“Telah bercerita kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Surajj bin An  Nu’man telah menceritakan kepada kami Fulaih dari Abu Thuwalah Abdullah bin Abdurrahman bin Ma’mar Al Anshari dari Sa’id bin Yasar dari Abu Hurairah ia berkata, “ Rasulullah Sallallahu’alaihi Wasallam bersabda : “ Barang siapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya karena Allah Azza Wa Jalla, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan sebagian dari dunia, maka ia tidak akan mendapatkan baunya Surga pada Hari Kiamat.”

Hadist Ke 4 :
Respon Terhadap Majlis Ilmu

“Telah bercerita kepada kami Isma’il berkata, telah menceritakan kepada ku Malik dari Iahaq bin Abdullah bin Abu Thalhah bahwa Abu Murrah – mantan budak Uqail bin Abu Thalib-, mengabarkan kepadanya dari Abu Waqid Al Laitsi, bahwa Rasulullah Salallahu’alaihi Wasallam ketika sedang duduk bermajlis di masjid bersama para sahabat datinglah tiga orang. Yang dua orang menghadap Nabi Salallahu ‘alaihi Wasallam dan yang seorang lagi pergi. Yang dua orang terus duduk bersama bai shalallahu ‘alaihi wasallam dimana satu diantaranya Nampak berbahagia bermajlis bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sedang yang ke dua duduk di belakang mereka, sedang yang ketiga berbalik pergi, setelah Rasulullah Shalallahhu ‘alaihi Wasallam selesai bermajlis, Beliau bersabda : “ Maukah kalian aku beritahu tentang ketiga orang tadi? Adapun seorang di antara mereka, dia meminta perlindungan kepad Allah, maka Allah melindungi dia. Yang kedua dia malu kepada Allah, maka Allah pun malu kepadanya. Sedangkan yang ketiga berpaling dari Allah maka Allah pun berpaling darinya.[9]

Dengan demikian seorang murid atau peserta didik harus selalu menunjukkan sikap akhlak yang mulia, terutama kepada pendidik, agar mudah mendapat pancaran ilmu darinya, tidak memandang rendah kepada pendidik, selalu bertingkah laku yang menyenangkan kepada pendidik, selalu disiplin, giat belajar dan bersabar dalam belajar.
            Di antara etika di dalam menuntut ilmu adalah tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, contoh mengambil tempat orang lain dan kita menempatinya, karena dalam menuntut ilmu kedudukan seseorang itu adalah sama, tidak ada yang lebih mulia ataupun hina, semua dalam keadaan belajar. Oleh sebab itu tidak boleh dalam menempati tempat duduk seseorang menyuruh orang lain berdiri, maka ia menduduki tempat orang lain tersebut. Dalam sebuah hadist dijelaskan larangan menempati tempat duduk orang lain :
Hadist Ke 5 :
ﻮﺣﺪﺜﻨﺎﻘﻴﺒﺔﺒﻦ ﺴﻌﻴﺪ ﺣﺪ ﺜﻨﺎ ﻠﻴﺚﺡ ﻮ ﺤﺪ ﺜﻨﻲ ﻤﺣﻤﺪ ﺒﻦ ﺮ ﻤﺢ ﺒﻦﺍﻠﻤﻬﺎ ﺣﺮ ﺃﺧﺒﺮ ﻧﺎ ﺍﻠﻠﻴﺙ ﻋﻦ ﻨﺎ ﻓﻊ ﻋﻦﺍ ﻋﻤﺮ ﻋﻦ ﺍﻠﻨﺒﻲ ﺼﻠﻰ ﺍﻠﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ ﻗﺎﻞ ﻠﺎ ﻴﻔﻴﻤﻦ ﺃﺤﺩ ﮐﻢ ﺍﻠﺮﺠﻞ ﻤﻦ ﻤﺠﻠﺴﻪ ﺛﻢ ﻴﺠﻠﺲ ﻓﻴﻪ - ﺴﻠﻢ[10]

“ Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id; Telah menceritakan kepada kami Laits; Demikian juga telah di riwayatkan dari jalur yang lain; Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rumh bin Al Muhajir; Telah mengabarkan kepada kami Al Laits dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda :
“ Janganlah kamu menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya, kemudian kamu duduk di tempatnya.”

C.    Syarah dari Hadist – Hadist tentang Adab Belajar (dengan menelaah kualitas hadist)
1.      Syarah dari hadist yang pertama Adab seorang penuntut ilmu kepada gurunya.
Keberhasilah seorang penuntut ilmu sangat di tentukan oleh bagaimana dia bersikap penuh adab kepada guru – gurunya dan kepada siapapun yang memberikan ilmu kepadanya. Diantara adab – adab yang harus di perhatikan adalah :
1.       Hormat, sabar dan santun serta selalu memuliakan dan bersikap rendah hati terhadap sang guru.
2.      Duduk diam mendengarkan dengan penuh adab dan berusaha memusatkan seluruh perhatian untuk menyerap setiap ilmu yang disampaikan oleh sang guru.
3.      Bersabar menghadapi sang guru
4.      Jangan malu untuk bertanya atau menanyakan hal – hal yang belum di pahami.
5.      Dalam diri seorang guru atau pendidik terdapat 4 hal penting, dan dalam diri seseorang penuntut ilmu atau pelajar juga terdapat 4 hal penting maka sempurnalah hubungan keduanya. [11]


2.      Syarah dari hadis tentang mengamalkan ilmu pengetahuan
Hadist di atas menjelaskan keuamaan mengamalkan dan mengajarkan ilmu pengetahuan. Sebagai motivasi untuk selalu belajar dan mengajar. Pengalaman ilmu pengetahuan merupakan suatu keharusan, karena ilmu tanpa pengalaman tidak ada gunanya, orang berpengetahuan tanpa diamalkan laksana lilin yang menerangi orang lain. Tetapi membakar drinya sendiri. Dalam al- Qur’an surat al-Shaf ayat : 2 – 3 dijelaskan gambaran orang yang tidak mengamalkan apa yang dikatakan sebagai berikut :
“Hai orang – orang yang beriman, mengapa kamu berkata apa yang tidak kamu perbuat. Sungguh besar murka Allah jika kamu berkata apa yang tidak kamu perbuat”.

3.      Syarah dari hadist tentang menuntut ilmu karena Allah SWT
1.    Belajar ilmu pengetahuan haruslah dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT.
2.    Niat dalam melaksanakan suatu pekerjaan akan menentukan hasil dari pekerjaan tersebut. Bila menuntut ilmu karena dunia, maka yang di dapat hanyalah kehidupan dunia, sedangkan di akhirat dia tidak mendapatkan apa – apa seperti di jelaskan dalam hadist diatas.

4.      Respon terhadap majlis ilmu
Penjelasan :
Hadist di atas berbicara mengenai Etika dalam belajar menuntut ilmu. Menuntut ilmu itu dimulai dengan niat, karena niat itu akan menentukan hasil suatu pekerjaan. Dalam menuntut ilmu hendaklah   dengan niat mengharap ridha Allah. Dalam hadist lain juga di sebutkan akan pentingnya niat :
ﺍﻨﻤﺎﺍﻻﻋﻤﻞﺒﺎﻟﻧﻴﻠﺖ
Di antara pelajaran penting dari hadist di atas adlah :
1.      Dalam menuntut ilmu hendaklah berniat mengharap ridha Allah.
2.      Niat menentukan hasil dari amal seseorang
3.      Menuntut ilmu haruslah dengan hati yang ikhlas, agar ilmu tersebut dapat ridha dari Allah dan bermanfaat.
4.      Sikap orang yang belajar (peserta didik) hendaknya menghormati dan menghargai orang yang mengajar (pendidik)
Seseorang yang sedang belajar atau peserta didik setidkanya mempunyai dua sikap yaitu sikap sebagai pribadi dan sikap sebagi penuntut ilmu (peserta didik) sebagai pribadi seorang murid harus bersih hatinya dari kotoran dan dosa, agar mudah menangkappelajaran, menghapal dan mengamalkannya.
Sebagi murid atau peserta didik seorang murid haruslah bersikap rendah hati pada ilmu dan guru (pendidik), selalu berusaha menjaga keridhoan pendidiknya, karena keridhoanna pedidik atau guru sangat berpengaruh dengan berkat tidaknya ilmu yang di berikan oleh seorang pendidik. Beberapa yang harus di hindari oleh seorang peserta didik yaitu :
a.       Jangan menggunjing disisi gurunya
b.      Jangan menunjukan perbuatan yang buruk di depan dan di belakang gurunya
c.       Mencegah orang yang menggunjingkan gurunya
d.      Bila tidak sanggup mencegah orang yang menggunjingkan gurunya, maka sebaiknya dia menjahui orang tersebut.[12]

D.    Adab Belajar Menurut Para Ahli
Salah satu ulama besar umat muslim, Imam Al-Ghazali, dalam bukunyaIhya Ulumuddin menyampaikan adab menuntut ilmu bagi seorang pelajar. Ada tujuh poin penting tentang Adab Menuntut Ilmu Menurut Imam Al-Ghazaliyang diringkas dari pendapat ulama ahli tasawuf ini :[13]
-          Pertama, mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak yang rendah.
Menurut Al-Ghazali, selama batin tidak bersih dari hal-hal keji, maka ia tidak menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama. Selain itu, batin juga tak akan diterangi dengan cahaya ilmu. Ibnu Mas’ud berkata, “Bukanlah ilmu itu karena banyak meriwayatkan, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dimasukkan ke dalam hati.”
-          Kedua, mengurangi kesenangan-kesenangan duniawi dan menjauh dari kampung halaman hingga hatinya terpusat untuk ilmu. Allah tidak menjadikan dua jantung bagi seseorang di dalam rongga badannya. Oleh karena itu dikatakan, “Ilmu itu tidak memberikan sebagiannya hingga engkau memberinya seluruh milikmu.”
-          Ketiga, tidak sombong dalam menuntut ilmu dan tidak membangkang kepada guru. Al-Ghazali menyarankan orang yang menuntut ilmu agar memberi kebebasan kepada guru yang mengajarnya selama tidak memperlakukannya dengan sewenang-wenang. Al-Ghazali juga menegaskan agar pelajar terus berkhidmat kepad guru. Menurutnya, ilmu enggan masuk kepada orang yang sombong seperti banjir yang tidak dapat mencapai tempat yang tinggi.
-          Keempat, menghindar dari mendengarkan perselisihan-perselisihan di antara sesama manusia. Menurut Al-Ghazali, hal tersebut dapat menimbulkan kebingungan saat menuntut ilmu.
-          Kelima, tidak menolak suatu bidang ilmu yang terpuji, tetapi harus menekuninya hingga mengetahui maksudnya. Jika umur membantunya, maka ia pun mesti menyempurnakannya.
-          Keenam, mengalihkan perhatian kepada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat. Imam Al-Ghazali berpendapat, ilmu yang dimaksudkan adalah bagian dari muamalah dan mukasyafah. Ilmumukasyafah tersebut ialah makrifatullah atau mengenal Allah. Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu yang paling mulia dan puncaknya adalah mengenai Allah.
-          Ketujuh, tujuan belajar adalah menghiasi batin dengan sifat yang menyampaikannya kepada Allah Swt. Selain itu, ia juga harus mengharapkan mendapatkan derajat tertinggi di antara malaikatmuqarabin (yang dekat dengan Allah). Dengan tujuan ini, ia tidak mengharapkan kepemimpinan, harta, dan kedudukan.
Dan yang lain juga mengatakan sebagai berikut :
-          Ibnu Thowus mendengar dari bapaknya , menghormati guru adalah sunnah.
-          Maimun bin Mihran, janganlah kamu berdebat dengan orang yang lebih pintar darimu, itu tidak akan membawa manfaat bagimu.
-          Az-Zuhri , Salmah sering mendebat Ibnu Abbas, akhirnya Salmah tidak banyak mendapatkan ilmu darinya, padahal Ibnu Abbas ilmunya sangat banyak.
-          Ibnu Jama’ah : seorang murid jangan sampai masuk ke majlis syaikh kecuali harus ijin, baik syaikh dalam keadaan sendirian ataupun ada pendampingya. Ketika memasuki majlis taklim, hendaklah bersih badan, pakaian dan kukunya, jangan sampai bau badanya menyengat tidak harum. Ingat, masjlis taklim adalah majlis dzikir dan pertemuan yang hal itu merupakan ibadah.
-          Abu Bakar bin Al-Anbari dalam majlis ilmunya, ketika murid mendengarkan ilmu, suasananya sangat tenang, seolah-olah kepala mereka jika dihinggapi burung maka burung itu tidak akan terbang, saking tenangnya suasana belajar.

E.     Refleksi dan Hikmah Hadist
Dari beberapa adab yang dikemukakan di atas, tidak sepenuhnya mutlak berlaku di setiap lembaga pendidikan. Kedudukan‘urfatau kebiasaan terkadang bias menjadi adab yang harus dijunjung tinggi bagi peserta didik. Sehingga bisa dikatakan bahwaa dasebagian bentuk interaksi antara pendidik dan peserta didik yang disepakati sebagai suatu hal yang dianggap baik, bisa menjadi adab atau etika tertentu bagi peserta didik. Hal tersebut masih dapat ditoleransi selama tidak melanggar kaidah syari’at atau melampaui batas norma agama yang berkaitan dengan konsep muamalah dan interaksisosial.
Hubungan antara peserta didik dengan pendidik dalam prosespendidikan memang harus terjalin denganbaikdengantetapmemperhatikanbatas-batasannya untuk menjaga kesopanan peserta didikterhadap ilmu dan pendidiknya.
Pola hubungan pendidik dan peserta didik di atas masih cukup relevan untuk diaplikasikan dalam kegiatan belajar-mengajar dimasa sekarang, karena hubungan tersebut disamping tidak akan membunuh kreativitas pendidik dan peserta didik, juga dapat mendorong terciptanya akhlak yang mulia dikalangan peserta didik  khususnya, maupun semua pihak yang beperan dalam proses pendidikan.
Para ahli pendidikan Islam masa kini juga telah sepakat bahwa maksud dari pengajaran dan pendidikan bukan hanya berupa transformasi ilmu saja, tetapi juga mendidik akhlak dan jiwa peserta didik, menanamkan karakter baik dan islami pada jiwa mereka, serta mempersiapkan mereka untuk menuju suatu kehidupan yang lebih nyata yaitu ketika berafiliasi dan bersosialisai di tengah-tengah masyarakat. Apabila adab-adab tersebut telah mampu terealisasikan, maka peserta didik akan lebih mudah mencapai apa yang dicita-citakan.[14]




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Adab harus dimiliki oleh setiap individu supaya jalinan hubungansosialnya berjalan dengan baik dan bermakna. Begitu juga dalam proses pendidikan.Seorang peserta didik hendaklah memikili adab terhadapdirinyasendiri, pendidik, maupunilmu yang sedang atau akan dipelajarinya. Karena eksistensi adab pada proses pendidikan akan mempengaruhi kualitas aspek aksiologi dari ilmu yang diperoleh.
Mulai dari menyucikan jiwanya dengan meluruskan niat, tawadlu’, bersemangat dalam menuntut ilmu, menghormati pendidik, ta’dzimal ‘ilm, dan adab-adab yang lainnya.
Apabila adab-adab tersebut telah mampu terealisasikan, maka peserta didik akan lebih mudah mencapai apa yang dicita-citakan, menjadi seorang pembelajar yang berkarakter islami dan memperoleh keberkahan dalam ilmu.


DAFTAR PUSTAKA

      Suryani, 2012. Hadist Tarbawi. Yogyakarta : Tera
     http://makalahnih.blogspot.co.id : 05/10/12016.
  Faikotunnikmah, Makalah Adab dan Keutamaan Menuntut Ilmu.https://faikotunnikmah.wordpress.com/2015/05/11/makalah-adab-dan-keutamaan-menuntut-ilmu/: 05/10/2016.


[1] Munawir, Al-munawir, hal. 13-14, lihatjuga Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: YP#A, 1973, hal 37
[2] Hadis Tarbawi (hadis-hadis pendidikan), abdul majid khon, Hlm. 298
[3] Munawir, Al-munawir, hal. 13-14, lihatjuga Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: YP#A, 1973, hal. 205

[4] Al_attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Bandung;Mizan, 1984 hal. 52
[5] Ibid, hlmm. 60
[6] Ibid, hal 62
[7] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,Juz V, h. 108, lihat juga juz I, h. 126.
[8] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz III, h. 361.
[9] Al-Bukhari. Shahih al-Bukhari, juz I, h. 211
[10] Muslim, Shahih Muslim, Juz IV, h. 1714
[11]Belajar dan menuntut ilmu,  Ensiklopedia amal shaleh hal. 34
[12]  Hadist Tarbawi, Hadis tentang belajar dan mengajar , Dra. Suryani, M.Ag. hal. 60
[13] http://www.duniaislam.org/21/03/2016/adab-menuntut-ilmu-menurut-imam-al-ghazali/
[14] http://makalahnih.blogspot.co.id/2014/09/makalah-pendidikan-karakter-adab-murid.html

No comments:

Post a Comment

Comments System

Disqus Shortname