Tafsir Tarbawi: PENDIDIKAN DALAM
PERSPEKTIF AL-QUR'AN
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan memiliki peran penting
pada era sekarang ini. Karena tanpa melalui
pendidikan proses transformasi dan
aktualisasi pengetahuan moderen sulit untuk diwujudkan. Demikian halnya dengan
sains sebagai bentuk pengetahuan ilmiah dalam pencapaiannya harus melalui
proses pendidikan yang ilmiah pula. Yaitu melalui metodologi dan kerangka
keilmuan yang teruji. Karena tanpa melalui proses ini pengetahuan yang didapat
tidak dapat dikatakan ilmiah.
Dalam Islam pendidikan tidak hanya
dilaksanakan dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang
usia (long life education). Islam memotivasi pemeluknya untuk selalu
meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan. Tua atau muda, pria atau
wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi sama dalam pandangan Islam dalam
kewajiban untuk menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang
terkait urusan ukhrowi saja yang ditekankan oleh Islam,
melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan duniawi juga.
Karena tidak mungkin manusia mencapai kebahagiaan hari kelak tanpa melalui
jalan kehidupan dunia ini.
Islam juga menekankan akan
pentingnya membaca, menelaah, meneliti segala sesuatu yang terjadi di alam raya
ini. Membaca, menelaah, meneliti hanya bisa dilakukan oleh manusia, karena
hanya manusia makhluk yang memiliki akal dan hati. Selanjutnya dengan kelebihan
akal dan hati, manusia mampu memahami fenomena-fenomena yang ada di sekitarnya,
termasuk pengetahuan. Dan sebagai implikasinya kelestarian dan keseimbangan
alam harus dijaga sebagai bentuk pengejawantahan tugas manusia sebagai khalifah
fil ardh.
Dalam makalah ini akan dipaparkan
pandangan Islam tentang pendidikan, pemerolehan pengetahuan (pendidikan), dan
arah tujuan pemanfaatan pendidikan.
Pendidikan Menurut al-Qur’an
al-Qur’an telah berkali-kali
menjelaskan akan pentingnya pengetahuan. Tanpa pengetahuan niscaya kehidupan
manusia akan menjadi sengsara. Tidak hanya itu, al-Qur’an bahkan memposisikan
manusia yang memiliki pengetahuan pada derajat yang tinggi. al-Qur’an surat
al-Mujadalah ayat 11 menyebutkan:
“…Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat…”.
al-Qur’an juga telah memperingatkan
manusia agar mencari ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam al-Qur’an surat
at-Taubah ayat 122 disebutkan:
“Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Dari sini dapat dipahami bahwa
betapa pentingnya pengetahuan bagi kelangsungan hidup manusia. Karena dengan
pengetahuan manusia akan mengetahui apa yang baik dan yang buruk, yang benar
dan yang salah, yang membawa manfaat dan yang membawa madharat.
Dalam sebuah sabda Nabi saw.
dijelaskan:

“Mencari ilmu adalah kewajiban
setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa
Islam mewajibkan kepada seluruh pemeluknya untuk mendapatkan pengetahuan.
Yaitu, kewajiban bagi mereka untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Islam menekankan akan pentingnya
pengetahuan dalam kehidupan manusia. Karena tanpa pengetahuan niscaya manusia
akan berjalan mengarungi kehidupan ini bagaikan orang tersesat, yang
implikasinya akan membuat manusia semakin terlunta-lunta kelak di hari akhirat.
Imam Syafi’i pernah menyatakan:
“Barangsiapa menginginkan dunia,
maka harus dengan ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat, maka harus dengan
ilmu. Dan barangsiapa menginginkan keduanya, maka harus dengan ilmu”.
Dari sini, sudah seyogyanya manusia
selalu berusaha untuk menambah kualitas ilmu pengetahuan dengan terus berusaha
mencarinya hingga akhir hayat.
Dalam al-Qur’an surat Thahaa ayat
114 disebutkan:

“Katakanlah: ‘Ya Tuhanku,
tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.”
Pemerolehan Pengetahuan dan Objeknya
(Proses Pendidikan)
Pendidikan Islam memiliki
karakteristik yang berkenaan dengan cara memperoleh dan mengembangkan
pengetahuan serta pengalaman. Anggapan dasarnya ialah setiap manusia dilahirkan
dengan membawa fitrah serta dibekali dengan berbagai potensi dan kemampuan yang
berbeda dari manusia lainnya. Dengan bekal itu kemudian dia belajar: mula-mula
melalui hal yang dapat diindra dengan menggunakan panca indranya sebagai
jendela pengetahuan; selanjutnya bertahap dari hal-hal yang dapat diindra
kepada yang abstrak, dan dari yang dapat dilihat kepada yang dapat difahami.
Sebagaimana hal ini disebutkan dalam teori empirisme dan positivisme dalam
filsafat. Dalam firman Allah Q.s. an-Nahl ayat 78 disebutkan:

“Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.[1]
Dengan pendengaran, penglihatan dan
hati, manusia dapat memahami dan mengerti pengetahuan yang disampaikan
kepadanya, bahkan manusia mampu menaklukkan semua makhluk sesuai dengan
kehendak dan kekuasaannya. Dalam al-Qur’an surat al-Jatsiyah ayat 13
disebutkan:

“Dan dia menundukkan untukmu apa
yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang berfikir”.
Namun, pada dasarnya proses
pemerolehan pengetahuan adalah dimulai dengan membaca, sebagaimana dalam
al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5:

“Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang Menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah
(2). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah (3), Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam (4), Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya (5)”.
Dalam pandangan Quraish Shihab
kata Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun.
Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami,
meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan
apa yang harus dibaca, karena al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja
selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk
kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah,
ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun
diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup
segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.[2]
Sebagaimana dalam al-Qur’an surat
Yunus ayat 101 disebutkan:

“Katakanlah: ‘Perhatikanlah apa
yaag ada di langit dan di bumi”.
Al-Qur’an membimbing manusia agar
selalu memperhatikan dan menelaah alam sekitarnya. Karena dari lingkungan ini
manusia juga bisa belajar dan memperoleh pengetahuan.
Dalam al-Qur’an surat asy-Syu’ara
ayat 7 juga disebutkan:

“Dan apakah mereka tidak
memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai
macam tumbuh-tumbuhan yang baik?”.
Demikianlah, al-Qur’an secara dini
menggarisbawahi pentingnya “membaca” dan keharusan adanya keikhlasan serta
kepandaian memilih bahan bacaan yang tepat.[3]
Namun, pengetahuan tidak hanya
terbatas pada apa yang dapat diindra saja. Pengetahuan juga meliputi berbagai
hal yang tidak dapat diindra. Sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surat
Al-Haqqah ayat 38-39:

“Maka Aku bersumpah dengan apa
yang kamu lihat (38). Dan dengan apa yang tidak kamu lihat (39)”.
Dengan demikian, objek ilmu meliputi
materi dan nonmateri, fenomena dan nonfenomena, bahkan ada wujud yang jangankan
dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak. Dalam al-Qur’an surat Al-Nahl ayat 8
disebutkan:

“Allah menciptakan
apa yang kamu tidak mengetahuinya”.[4]
Sebagaimana telah dipaparkan di
atas, dalam pengetahuan manusia tidak hanya sebatas apa yang dibutuhkan untuk
kelangsungan hidup manusia, namun juga semua pengetahuan yang dapat
menyelamatkannya di akhirat kelak.
Islam mengehendaki pengetahuan yang
benar-benar dapat membantu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia.
Yaitu pengetahuan terkait urusan duniawi dan ukhrowi,
yang dapat menjamin kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia di dunia dan di
akhirat.
Pengetahuan duniawi adalah berbagai
pengetahuan yang berhubungan dengan urusan kehidupan manusia di dunia ini. Baik
pengetahuan moderen maupun pengetahuan klasik. Atau lumrahnya disebut dengan
pengetahuan umum. Sedangkan pengetahuan ukhrowi adalah berbagai pengetahuan
yang mendukung terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia kelak di
akhirat. Pengetahuan ini meliputi berbagai pengetahuan tentang perbaikan pola
perilaku manusia, yang meliputi pola interaksi manusia dengan manusia, manusia
dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Atau biasa disebut dengan pengetahuan
agama.
Pengetahuan umum (duniawi)
tidak dapat diabaikan begitu saja, karena sulit bagi manusia untuk mencapai
kebahagiaan hari kelak tanpa melalui kehidupan dunia ini yang mana dalam
menjalani kehidupan dunia ini pun harus mengetahui ilmunya. Demikian halnya
dengan pengetahuan agama (ukhrowi), manusia tanpa pengetahuan agama
niscaya kehidupannya akan menjadi hampa tanpa tujuan. Karena kebahagiaan di
dunia akan menjadi sia-sia ketika kelak di akhirat menjadi nista.
Islam selalu mengajarkan agar
manusia menjaga keseimbangan, baik keseimbangan dhohir maupun batin,
keseimbangan dunia dan akhirat. Dalam Qs. Al-Mulk ayat 3 disebutkan:

“Yang telah menciptakan tujuh
langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang
Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang! Adakah
kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”.
Dalam al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 8
juga disebutkan:

“Segala sesuatu di sisi-Nya
memiliki ukuran”.
Dari sini dapat dipahami bahwa Allah
selalu menciptakan segala sesuatu dalam keadaan seimbang, tidak berat sebelah.
Demikian halnya dalam penciptaan manusia. Manusia juga tercipta dalam keadaan
seimbang. Dari keseimbangan penciptaannya, manusia diharapkan mampu menciptakan
keseimbangan diri, lingkungan dan alam semesta. Karena hanya manusia yang mampu
melakukannya sebagai bentuk dari kekhalifahan manusia di muka bumi.
Dalam al-Qur’an surat
al-Qashash ayat 77 disebutkan:

“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan”.
Manusia tidak dianjurkan oleh Islam
hanya mencari pengetahuan yang hanya berorientasi pada urusan akhirat saja.
Akan tetapi, manusia diharapkan tidak melupakan pengetahuan tentang urusan
dunia. Meskipun kehidupan dunia ini hanyalah sebuah permainan dan senda gurau
belaka, atau hanyalah sebuah sandiwara raksasa yang diciptakan oleh Tuhan
semesta alam. Namun, pada dasarnya manusia diharapkan mampu menjaga
keseimbangan dirinya dalam menjalani realita kehidupan ini, termasuk dalam
mencari pengetahuan.
Al-Qur’an surat al-An’aam ayat 32
menyebutkan:

“Dan tiadalah kehidupan dunia
ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat
itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”.
Islam menghendaki agar pemeluknya
mempelajari pengetahuan yang dipandang perlu bagi kelangsungan hidupnya di
dunia dan di akhirat kelak. Dalam al-Qur’an surat al-Baqoroh ayat 201
disebutkan:

“Dan di antara mereka ada orang
yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
Kebaikan (hasanah) dalam
bentuk apapun tanpa didasari ilmu, niscaya tidak akan terwujud. Baik berupa
kebaikan duniawi yang berupa kesejahteraan, ketenteraman, kemakmuran dan lain
sebagainya. Apalagi kebaikan di akhirat tidak akan tercapai tanpa adanya
pengetahuan yang memadai. Karena segala bentuk keinginan dan cita-cita tidak
akan terwujud tanpa adanya usaha dan pengetahuan untuk mencapai keinginan dan
cita-cita itu sendiri.
Pemanfaatan Pengetahuan (Orientasi
Pendidikan)
Manusia memiliki potensi untuk
mengetahui, memahami apa yang ada di alam semesta ini. Serta mampu
mengkorelasikan antara fenomena yang satu dan fenomena yang lainnya. Karena
hanya manusia yang disamping diberi kelebihan indera, manusia juga diberi
kelebihan akal. Yang dengan inderanya dia mampu memahami apa yang tampak dan
dengan hatinya dia mampu memahami apa yang tidak nampak. Dalam al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 31 disebutkan:

“Allah mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya”.
Yang dimaksud nama-nama pada ayat
tersebut adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi
mengetahui rahasia alam raya.
Adanya potensi itu, dan tersedianya
lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam raya membangkang
terhadap perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh
kepastian mengenai hukum-hukum alam. Karenanya, semua itu mengantarkan manusia
berpotensi untuk memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Tuhan.[5]
Namun, di sisi lain manusia juga
memiliki nafsu yang cenderung mendorong manusia untuk menuruti keinginannya.
Nafsu jika tidak terkontrol maka yang terjadi adalah keinginan yang tiada
akhirnya. Nafsu juga tidak jarang menjerumuskan manusia dalam lembah kenistaan.
Dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 53 disebutkan:

“Sesungguhnya nafsu
itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi
rahmat oleh Tuhanku”.
al-Qur’an menandaskan bahwa umat
Islam adalah umat terbaik, yang mampu menciptakan lingkungan yang baik,
kondusif, yang bermanfaat bagi seluruh alam. Karena sebaik-baik manusia adalah
yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
Dalam al-Qur’an surat Ali Imron ayat
110 disebutkan:

“Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.
Sabda Nabi saw.:

“Sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat”.
Pisau akan sangat berguna ketika
digunakan oleh orang yang berpikiran positif dan ahli dalam menggunakan pisau.
Sebaliknya, ketika pisau digunakan oleh orang yang berpikiran negatif, niscaya
bukan kemanfaatan dan kemaslahatan yang akan dihasilkan dari pisau itu,
melainkan kemadharatan.
Demikian halnya dengan pengetahuan,
ketika penggunaannya bertujuan untuk mencapai kemanfaatan niscaya pengetahuan
itu pun akan bermanfaat. Namun sebaliknya, ketika pengunaan pengetahuan
digunakan untuk kemadharatan, maka kemadharatan itulah yang akan
didapat.
Ilmu pengetahuan adalah sebuah
hubungan antara pancaindera, akal dan wahyu. Dengan pancaindera dan akal
(hati), manusia bisa menilai sebuah kebenaran (etika) dan keindahan (estetika).
Karena dua hal ini adalah piranti utama bagi manusia untuk mendapatkan
pengetahuan. Namun, disamping memiliki kelebihan, kedua piranti ini memiliki
kekurangan. Sehingga keduanya masih membutuhkan penolong untuk menunjukkan
tentang hakikat suatu kebenaran, yaitu wahyu. Dan dengan wahyu manusia dapat
memahami posisinya sebagai khalifah fil ardh.[6]
Wahyu yang diturunkan kepada manusia
tidak hanya berisikan perintah dan larangan saja, akan tetapi lebih dari itu
al-Qur’an juga membahas tentang bagaimana seharusnya hidup dan menghargai kehidupan.
Dan tidak terlepas juga di dalam al-Qur’an dikaji tentang sains dan teknologi
sehingga tidaklah berlebihan jika kita menyebutnya sebagai kitab sains dan
medis[7].
Namun, berbagai bentuk kemajuan
sains dan teknologi serta ilmu pengetahuan tanpa didasari tujuan yang benar,
niscaya hanya akan menjadi sebuah bumerang yang menghancurkan kehidupan
manusia. Karena tidak jarang saat ini manusia malah mengalami kejenuhan, kehampaan
jiwa, hedonisme, materialisme bahkan dekadensi moral yang tidak jarang pula
implikasinya merugikan diri mereka sendiri bahkan lingkungan sekitar. Padahal
dengan adanya kemajuan sains dan teknologi kehidupan manusia diharapkan menjadi
lebih mudah, efisien, instan, yang bukan malah menimbulkan tekanan jiwa dan
kerusakan lingkungan.
Dalam Islam telah digariskan
aturan-aturan moral penggunaan pengetahuan. Apapun pengetahuan itu, baik
kesyaritan maupun lainnya, teoritis maupun praktis, ibarat pisau bermata dua
yang dapat digunakan pemiliknya untuk berlaku munafik dan berkuasa atau berbuat
kebaikan dan mengabdi kepada kepentingan umat manusia. Pengetahuan tentang atom
umpamanya, dapat digunakan untuk tujuan-tujuan perdamaian dan kemanusiaan, tapi
dapat pula digunakan untuk menghancurkan kebudayaan manusia melalui
senjata-senjata nuklir.[8]
Al-Qur’an juga telah menegaskan bahwa
kerusakan di muka bumi adalah akibat dari ulah manusia sendiri. Dalam al-Qur’an
surat ar-Rum ayat 41 disebutkan:

“Telah nampak kerusakan di darat
dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia”.
Manusia adalah makhluk yang memiliki
tanggung jawab, yaitu tanggung jawab menjadi khalifah fil ardh.
Kekhalifahan manusia adalah salah satu bentuk dari ta’abbud-nya
kepada sang Khalik. Sedangkan ta’abbud adalah tugas pokok dari
penciptaan manusia, sekaligus menggali, mengatur, menjaga dan memelihara alam
semesta ini. Sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat adz-Dzariyat
ayat 56:

“Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat
85 disebutkan:

“Sempurnakanlah takaran dan
timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan
timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan
memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu
orang-orang yang beriman“.
Pemanfaatan pengetahuan harus
ditujukan untuk mendapatkan kemanfaatan dari pengetahuan itu sendiri, menjaga
keseimbangan alam semesta ini dengan melestari-kan kehidupan manusia dan alam
sekitarnya, yang sekaligus sebuah aplikasi dari tugas kekhalifahan manusia di
muka bumi. Dan pemanfaatan pengetahuan adalah bertujuan untuk ta’abbud kepada
Allah swt., Tuhan semesta alam. Wallahu a’lam.
Kesimpulan
Dari deskripsi singkat di atas,
dapat dipahami bahwa al-Qur’an telah memberikan rambu-rambu yang jelas kepada
kita tentang konsep pendidikan yang komperehensif. Yaitu pendidikan yang tidak
hanya berorientasi untuk kepentingan hidup di dunia saja, akan tetapi juga
berorientasi untuk keberhasilan hidup di akhirat kelak. Karena kehidupan dunia
ini adalah jembatan untuk menuju kehidupan sebenarnya, yaitu kehidupan di
akhirat.
Manusia sebagai insan kamil dilengkapi
dua piranti penting untuk memperoleh pengetahuan, yaitu akal dan hati. Yang
dengan dua piranti ini manusia mampu memahami “bacaan” yang ada di sekitarnya.
Fenomena maupun nomena yang mampu untuk ditelaahnya. Karena hanya manusia
makhluk yang diberi kelebihan ini.
Pengetahuan yang telah didapat manusia
sudah seyogyanya diorientasikan untuk kepentingan seluruh umat manusia. Karena
sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia seluruhnya.
Namun, tidak boleh dilupakan bahwa manusia juga hidup berdampingan dengan
lingkungan, sehingga tidak bisa serta merta kemajuan pengetahuan pengetahuan
dan teknologi malah menghancurkan dan merusak keseimbangan alam. Karena sudah
menjadi tugas manusia untuk melestarikan alam ini sebagai pengejawantahan
kekhalifahan manusia sekaligus bentuk ta’abbudnya kepada Allah swt.
Daftar Pustaka
Ahmad, al-Hajj, Yusuf. al-Qur’an
Kitab Sains dan Medis. Terj. Kamran Asad Irsyadi. Grafindo Khazanah Ilmu.
Jakarta. 2003.
al-Qardawi, Yusuf. Sunnah,
Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Terj. Abad Badruzzaman. PT. Tiara Wacana.
Yogyakarta. 2001.
Aly, Noer, Hery & Suparta,
Munzier. Pendidikan Islam Kini dan Mendatang. CV. Triasco. Jakarta.
2003.
Habib, Zainal. Islamisasi
Sains. UIN-Malang Press. Malang. 2007.
Shihab, Quraish, M. Membumikan
al-Qur’an. Mizan. Bandung. 2004.
_______________. Wawasan
al-Qur’an. Mizan. Bandung. 2001.
Zainuddin, M. Filsafat Ilmu
Perspektif Pemikiran Islam. Lintas Pustaka. Jakarta. 2006.
[1]Hery Noer Aly & Munzier Suparta, Pendidikan
Islam Kini dan Mendatang, (Jakarta: CV. Triasco, 2003), h. 109.
[2]M. Qusraish Shihab, Wawasan
al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001), h. 433.
[3]________________, Membumikan
al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004), h. 168.
[4]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an,
(Bandung: Mizan, 2001), h. 436.
[5]Ibid, h. 442.
[6]Lihat Yusuf al-Qardawi, Sunnah, Ilmu
Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad Badruzzaman, (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya, 2001), h. 117-121.
[7]Lihat Yusuf al-Hajj Ahmad, al-Qur’an
Kitab Sains dan Medis, terj. Kamran Asad Irsyadi, (Jakarta: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2003), cet.II.
[8]Hery Noer Aly & Munzier Suparta, op.cit.,
h. 109-110. Bandingkan dengan Zainal Habib, Islamisasi Sains,
(Malang: UIN-Malang Press, 2007), h. 14-18.
No comments:
Post a Comment