kalah HADITS TARBAWI-Kewajiban Belajar
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wajib bagi muslim mempelajari ilmu yang menjadi prasyarat untuk menunaikan sesuatu yang menjadi kewajibannya. Dengan demikian wajib baginya mempelajari ilmu mengenai jual beli bila berdagang. Wajib pula mempelajari ilmu yang berhubungan dengan orang lain dan berbagai pekerjaan. Maka setiap orang yang terjun pada suatu profesi harus mempelajari ilmu yang menghindarkannya dari perbuatan haram di dalamnya. Kemudian setiap muslim wajib mempelajari ilmu yang berkaitan dengan hati, seperti tawakkal (pasrah kepada Allah), inabah (kembali kepala Allah), khauf (takut kepada murka Allah). dan rida.
Alangkah bahagianya menjadi seorang muslim, karena dengannyaAllah akan menyelamakannya dari api neraka, namun alangkah bahagianya ketika seorang muslim memiliki ilmu, maka Allah akan mengangkat derajatnya sebagaimana firman Nya, dalam surat Almujadilah :11 di tegaskan :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ١١
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”(QS. Almujadilah :11).
Di samping al-Qur’an, hadits juga menguraikan mengenai perintah agar manusia selalu melakukan pendidikan dan menuntut ilmu untuk mengembangkan pengetahuannya. Banyak hadits yang menerangkan mengenai hal tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, permasalahan dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan kewajiban belajar ?
2. Apa kewajiban seorang muslim dalam belajar?
3. Apa saja Hadist-hadist tentang kewajiban belajar?
4. Apa tujuan dari kewajiban belajar ?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kewajiban belajar
2. Untuk mengetahui Kewajiban Seorang Muslim Dalam Belajarr
3. Untukmengetahui hadist-hadist tantang wajib belajar
4. Untuk mengetahui tujuan dari kewajiban belajar
D. Manfaat
Berdasarkan tujuan diatas, maka makalah ini dibuat agar bermanfaat bagi para pembaca dalam memahami kewajiban belajar dalam hadist tarbawih.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kewajiban Belajar
A. Ayat-Ayat Kewajiban Menuntut Ilmu ditinjau dari Terjemahan DEPAG
Al-Qur’an tidak secara langsung mengutarakan tentang kewajiban mencari ilmu atau mengembangkan ilmu pengetahuan, namun ayat tersebut tersirat dalam beberapa ayat yang mengisyaratkan tentang hal itu. Dalam makalah ini penulis hanya mengambil beberapa sampel saja, karena tidak mungkin penulis membahas secara detail semua ayattarbiyah. Berikut ini ayat yang menunjukkan kewajiban menuntut ilmu:
Q.S.al-Alaq/96:1-5\
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Q.S.al-Taubah/9:122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)
Artinya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Q.S.al-Ghasyiyah/88:17-20
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (20)
Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Apabila kita perhatikan, terjemahan DEPAG di atas, nampaknya tidak mengapresiasikan proses atau perintah menuntut ilmu kecuali ayat yang penulis eksplore pada bagian pertama dan kedua, dan itupun memerlukan pemikiran dan penghayatan yang lebih jeli lagi. Kita ambil contoh perintah bacalah, tentunya menunjukkan proses membaca yang harus dilakukan oleh seorang manusia. Kata yang mengilhami adanya kompetensi dalam ayat tersebut adalah kata iqra’. Kata iqra’ berasal dari kata qara’a pada mulanya berarti menghimpun. Kemudian lafadz tersebut diartikan dengan arti membaca. Namun sebagaimana konteks pada saat itu, Nabi dalam keadaan ummi, maka dari itu menurut penulis ini merupakan perintah kepada Nabi untuk membaca yang tersirat. Dan ini berimplikasi kepada seluruh manusia yaitu perintah mengembangkan ilmu pengetahuan.
Terlebih lagi pada ayat yang terdapat dalam surat al-Ghasiyah tersebut. Ayat tersebut hanya merupakan pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, namun membutuhkan pemikiran. Kalau ahli bahasa tentunya dapat memaham Ni bahwa pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban tersebut merupakan perintah untuk berpikir dan selalu mengembangkan ilmu pengetahuan. Namun penguasaan ilmu pengetahuan tersebut harus dilandasi dengan niat yang benar, yaitu karena Allah. Tanpa niat karena Allah, maka apa yang dilakukan oleh pendidik tidak akan mempunyai arti apa-apa.
Maka dapat dikatakan jika dalam terjemahan Depag belum dapat dilihat langsung perintah atau kewajiban belajar atau menuntut ilmu, kecuali bagi orang-orang yang berpikir dan meneliti tentang al-Qur’an.
2. Kewajiban Seorang Muslim54 Dalam Belajar
1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqorrub (mendekatkan) diri kepada Allah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela, seperti terdapat dalam Q.S. Adz-dzariyat ayat 56 yaitu:
“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Q.S. Adz-dzariyat : 56).
2. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan dengan masalah ukhrawi. Dalam hal ini Allah berfirman:
وَلَلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لَّكَ مِنَ ٱلۡأُولَىٰ ٤
Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)(QS.Ar-rahman:4)
3. Bersikap tawadhu (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentinga pribadi untuk kepentingan pendidikannya.
4. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran
5. Mempeljari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk tujuan ukhrawi maupun untuk duniawi.
6. Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sulit.
7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memmliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dunia akhirat.
11. Anak didik harus tunduk pada nasihat pendidik.[1]
Dan kami juga berpendapat bahwasanya yang tidak kalah penting juga dalam kewajiban seorang muslim dalam menuntut ilmu adalah memperhatikan adab-adab dalam menuntut ilmu.
Dalam surat al-Hujurat ayat 1-5 ditegaskan pula:
يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ ١ يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَرۡفَعُوٓاْ أَصۡوَٰتَكُمۡ فَوۡقَ صَوۡتِ ٱلنَّبِيِّ وَلَا تَجۡهَرُواْ لَهُۥ بِٱلۡقَوۡلِ كَجَهۡرِ بَعۡضِكُمۡ لِبَعۡضٍ أَن تَحۡبَطَ أَعۡمَٰلُكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تَشۡعُرُونَ ٢ إِنَّٱلَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصۡوَٰتَهُمۡ عِندَ رَسُولِ ٱللَّهِ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَٱمۡتَحَنَٱللَّهُ قُلُوبَهُمۡ لِلتَّقۡوَىٰۚ لَهُم مَّغۡفِرَةٞ وَأَجۡرٌ عَظِيمٌ ٣ إِنَّٱلَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِن وَرَآءِ ٱلۡحُجُرَٰتِ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ ٤ وَلَوۡ أَنَّهُمۡ صَبَرُواْ حَتَّىٰ تَخۡرُجَ إِلَيۡهِمۡ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٥
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.
Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.
Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini menggambarkan tuntunan bagaimana seharusnya orang-orangmukmin atau para sahabat bersikap dan bergaul dengan Nabi Muhammad.
Ada beberapa etika yang harus mereka jaga dan patuhi ketika berinteraksi dengan Nabi, yaitu sebaga berikut.
a) Orang mukmin tidak boleh mendahului ketetapan Rasul.
b) Orang mukmin dilarang meninggikan suaranya sehingga mengalahkan suara nabi.
c) Janganlah orang mukmin memanggil Nabi seperti memanggil teman atau orang lainnya.
Dengan demikian, paling tidak ada empat kewajiban yang harus dijaga oleh seorang muslim dalam belajar atau menuntut ilmu, yaitu:
1. Kepercayaan dan keyakinan seorang muslim kepada gurunya, dimana guru memang layak mengajar karena telah memenuhi kualifikasi dan kompetensi dalam melaksanakan pembelajaran.
2. Tidak boleh mendahului ketetapan dan jawaban guru mengenai persoalan apa saja yang timbul dalam proses pembelajaran.
3. Seorang peserta didik, terutama dalam proses pembelajaran, tidak boleh meninggikan suaranya sehingga mengalahkan suara guru karena hal itu dapat mengganggu proses pembelajaran.
4. Peserta didik tidak layak memanggil guru seperti memanggil teman sebaya.[2]
3. Hadits Kewajiban Belajar/Menuntut Ilmu
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ قَالَ حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ خَطِيبًا يَقُولُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللَّهُ يُعْطِي وَلَنْ تَ زَالَ هَذِهِ الْأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللَّهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ
Artinya: Barang siapa yang Allah menghendaki dia baik maka Allah akan memahamkannya dalam masalah agama, dan aku adalah orang yang bersumpah, allah akan memberi dan ketika umat ini tidak akan bergeser untuk mendirikan perintah allah maka orang yang berbeda dengan umat ini tidak akan membahayakannya sehingga datang perkara Allah.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ رَجُلٍ يَسْلُكُ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا إِلَّا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقَ الْجَنَّةِ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
Artinya: Tidak ada seorang laki-laki yang berjalan dijalan untuk mencari ilmu kecuali Allah mempermudah jalannya jalannya ke surga, barang siapa yang kendor amalnya nasabnya tidak akan mempercepatnya.
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Artinya: Barang siapa yang berjalan di jalan untuk mencari ilmu kecuali Allah mempermudah jalannya jalannya ke surga.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُودِ عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ قَالَ أَتَيْتُ صَفْوَانَ بْنَ عَسَّالٍ الْمُرَادِيَّ فَقَالَ مَا جَاءَ بِكَ قُلْتُ أُنْبِطُ الْعِلْمَ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ خَارِجٍ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ إِلَّا وَضَعَتْ لَهُ الْمَلَائِكَةُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا بِمَا يَصْنَعُ
Artinya: Tidak ada orang yang keluar untuk mencari ilmu kecuali malaikat meletakkan sayapnya kepada orang tersebut karena ridho dengan apa ya ng diperbuatnya.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدٍ الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُعَلَّى حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ خَيْثَمَةَ عَنْ أَبِي دَاوُدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَخْبَرَةَ عَنْ سَخْبَرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ كَانَ كَفَّارَةً لِمَا مَضَى قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ ضَعِيفُ الْإِسْنَادِ أَبُو دَاوُدَ يُضَعَّفُ فِي الْحَدِيثِ وَلَا نَعْرِفُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَخْبَرَةَ كَبِيرَ شَيْءٍ وَلَا لِأَبِيهِ وَاسْمُ أَبِي دَاوُدَ نُفَيْعٌ الْأَعْمَى تَكَلَّمَ فِيهِ قَتَادَةُ وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ
Artinya: Barang siapa yang mencari ilmu maka ilmu itu akan menjadi tebusan sesuatu yang terdahulu.
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ نَصْرِ بْنِ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ الْهُنَائِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ أَيُّوبَ السَّخْتِيَانِيِّ عَنْ خَالِدِ بْنِ دُرَيْكٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لِغَيْرِ اللَّهِ أَوْ أَرَادَ بِهِ غَيْرَ اللَّهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَيُّوبَ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
Artinya: Barang siapa yang mencari ilmu bukan karena Allah atau menghendaki selain Allah maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ جَنَاحٍ أَبُو سَعْدٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقِيهٌ وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ
Artinya: Orang alim fiqih satu lebih berat dari pada seribu ahli ibadah menurut setan.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ شِنْظِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ
Artinya: Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap orang muslim, dan meletakkan ilmu pada selain ahlinya seperti halnya mengalungi babi hutan dengan permata, mutiara dan emas.
Orang menuntut ilmu itu merupakan kemauan sendiri. Orang yang menuntut ilmu akan diberi petunjuk oleh Allah. Hanya Allah yang berkuasa untuk memberikan petunjuk kepada seseorang. Jika seseorang tersebut sudah dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang yang baik, maka Allah akan memudahkannya dalam memahami agama, dan sebaliknya. Namun demikian manusia tidak boleh menyerah dan tidak boleh hanya pasrah tanpa adanya usaha. Perkembangan seseorang tergantung pada pembawaan dan lingkungannya. Pembawaan seseorang baru berkembang karena mendapat pengaruh dari lingkungan.
Hadits yang kedua, ketiga dan keempat tersebut pada dasarnya sama yaitu menyatakan tentang keutamaan ilmu dan orang yang mencari ilmu. Mencari ilmu merupakan pekerjaan yang sangat mulia dan sulit. Karena dengan ilmu manusia tidak akan lagi berakhlak seperti binatang. Maka malaikatpun ridho terhadap apa yang diperbuat oleh manusia tersebut.
Hadits yang selanjutnya adalah tentang ilmu merupakan pelebur terhadap amal yang ia perbuat sebelumnya, karena orang yang beramal tanpa didasari ilmu maka amalnya tidak sah. Dan orang yang beramal tanpa ada landasan ilmu, ibarat pesawat yang terbang tanpa landasan.
Orang yang mencari ilmu atau menjalani pendidikan hendaklah berniat karena Allah. Orang yang mencari ilmu dengan niat selain Allah maka Allah akan memberikan siksaan kepadanya. Ilmu merupakan sesuatu yang mulia, dan pada dasarnya semua ilmu adalah milik Allah. Dalam Islam tidak ada dikotomi ilmu, akan tetapi dalam Islam ada pembagian ilmu menjadi mahmudah dan madzmumah.
Hadits yang selanjutnya menerangkan tentang keutamaan orang yang berilmu. Orang yang mempunyai ilmu lebih berat untuk digoda menurut setan daripada ahli ibadah yang jumlahnya seribu. Hadits terakhir yang penulis kemukakan dalam subbab ini adalah hadits mengenai kewajiban mencari ilmu bagi seluruh umat Islam. Sekarang ini umat Islam sudah mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan golongan orientalis. Maka dari itu untuk mengejar ketertinggalan tersebut kita sebagai umat Islam harus senantiasa gemar mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
4. Tujuan Pendidikan Dari Kewajiban Belajar
Misalnya Al-Qabisi, berpendapat bahwa tujuan pendidikan atau pengajaran adalah mengetahui ajaran agama baik secara ilmiah maupun secara amaliah. Mengapa ia berpendapat demikian? Oleh karena dia termasuk ulama ahli fiqih dan tokoh dari ulama ahli sunnah wal jama’ah. Sedangkan Ibnu Maskawaih berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah tercapainya kebajikan, kebenaran dan keindahan. Ikhwan As-Safa, cenderung berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan paham filsafat dan akidah politik yang mereka anut. Al-Gazzaly, berpendapat bahwa tujuan pendidikan itu adalah melatih para pelajar untuk mencapai makrifat kepada Allah melalui jalan tasawwuf yaitu dengan mujahadah dan riyadhah.
Dari berbagai macam tujuan pendidikan dikemukakan di atas kita dapat mengambil kesimpulan kepada dua macam tujuan yang principal.
1. Tujuan Keagamaan
Yang dimaksud dengan tujuan keagamaan ini adalah bahwa setiap pribadi orang muslim beramal untuk akhirat atas petunjuk dan ilham keagamaan yang benar, yang tumbuh dan dikembangkan dari ajaran-ajaran Islam yang bersih dan suci. Tujuan keagamaan mempertemukan diri pribadi terhadap Tuhannya melalui kitab-kitab suci yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban, sunat dan yang fardhu bagi seorang mukallaf.
Tujuan ini menurut pandangan pendidikan Islam dan para pendidik muslim mengandung essensi yang amat penting dalam kaitannya dengan pembinaan kepribadian individual; diibaratkan sebagai anggota masyarakat yang harus hidup di dalamnya dengan banyak berbuat dan bekerja untuk membina sebuah gedung yang kokoh dan kuat. Di sini nampak jelas tentang pentingnya tujuan pendidikan ini, karena sebenarnya agama itu sendiri mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai aspek pendidikan kejiwaan dan pendidikan kebudayaan secara ilmiah dan falsafiyah. Maka dari itu agama mengarahkan tujuannya kepada pencapaian makrifat tentang kebenaran yang haq, yaitu Allah tabaraka wa ta’ala.
Di samping itu tujuan keagamaan juga mengandung makna yang lebih luas yakni suatu petunjuk jalan yang benar di mana tiap pribadi muslim mengikutinya dengan ikhlas sepanjang hayatnya, dan juga masyarakat manusia berjalan secara manusiawi.
Dengan demikian agama sebenarnya memberikan memberikan berbagai topic-topik pembahasan, di antaranya yang paling essensial ialah pembahasan dari sudut falsafah, misalnya agama berusaha memberikan analisis yang benar terhadap permasalahan wujud alam semesta dan tujuannya, dan agama menetapkan garis dan menjelaskan kepada kita jalan-jalan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Tentang kehidupan kita di dunia dan di akhirat, filsafat juga berusaha menganalisis problem-problemnya.
Maka dari itu dapat dikatakan bahwa keduanya sejalan dalam hal tujuan akhir dan sasarannya, yang berbeda hanyalah pada cara atau metode yang digunakan dari masing-masing. Agama Islam dengan sifat khasnya mempertemukan kedua metode itu untuk digunakan sebagai cara mencapai hakikat segala sesuatu, karena itu kedua metode tersebut adalah cara untuk mencapai kepuasan dan keyakinan, dan sekaligus untuk mencari kebenaran dan pengalaman.
Jika kita mendalami makna dari tujuan keagamaan pendidikan Islam, maka kita jumpai bahwa tujuan itu menyingkapkan kepada kita sejauh mana kedekatan ilmu pengetahuan dengan agama. Kenyataan demikian memperkuat adanya bukti bahwa sesungguhnya agama kita mempergunakan ilmu pengetahuan dalam ketetapan-ketetapan dan keputusan-keputusannya, yang mengajak kepada penemuan kenyataan yang benar guna memuaskan akal pikiran (ratio).
Sebagaimana firman Allah yang artinya sebagai berikut:
”Adakah orang yang mengaetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu benar sama dengan orang buta? Hanya orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran”. (Ar-Ra’du.19).
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa agama itu adalah haq (dogmatika dan rasional) dan ilmu pengetahuan itu juga haq (dengan cara penganalisaan secara agama antara keduanya tidak mungkin bertentangan atau berlawanan).
2. Tujuan Keduniaan
Tujuan ini seperti yang dinyatakan dalam tujuan pendidikan modern saat ini yang diarahkan kepada pekerjaan yang berguna (pragmatis), atau untuk mempersiapkan anak menghadapi kehidupan masa depan. Tujuan ini diperkuat oleh aliran paham pragmatism yang dipelopori oleh ahli filsafat John Dewey dan William Kilpatrick. Para ahli filsafat pendidikan pragmatism lebih mengarahkan pendidikan anak kepada gerakan amaliah (ketrampilan) yang bermanfaat dalam pendidikan.
Adapun saat ini dan zaman teknologis, tujuan ini mengambil kebijakan baru yang lebih menonjolkan kecekatan bekerja yang cepat di dalam setiap peristiwakehidupan dan juga memakai strategi pendidikan seumur hidup (life-long education).
Sedangkan pendidikan Islam melihat tujuan pendidikan ini dari aspek dan pandangan baru yaitu berdasarkan Al-Qur’anulkarim, yang sangat memusatkan perhatian kepada pengamalan di mana seluruh kegiatan hidup umat manusia harus bertumpu kepadanya. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an selalu berkaitan antara iman dengan amal perbuatan yang salah, sebagai landasan yang kokoh dalam mengarungi kehidupan manusia.
Dalam hubungan ini Allah berfirman yang artinya:
“…dan katakanlah: “beramallah kamu maka Allah akan melihat amal perbuatanmu.” (At-Taubah,105).
Dan firman-Nya lagi:
“… maka ketika telah selesai mengerjakan sembahyang, bertebarlah kamu di atas bumi…” (Al-Jum’at 10).
Struktur pendidikan Islam dibangun di atas landasan yang kokoh, yang menggunakan kedua tujuan keagamaan dan tujuan keduniaan. Dengan demikian, terdapat perbedaan besar antara tujuan-tujuan pendidikan dari umat-umatterdahulu dengan masa kini. Misalnya, bangsa Cina dahulu mengutamakan pada pencapaian tujuan pendidikan yang mempersiapkan anak didik untuk hidup bekerja sama dalam tugas-tugas besar.
Sedangkan bangsa Hindu mengarahkan tujuan pendidikan pada pembiasaan (melatih) anak didik bersikap sabar dan menerima kenyataan yang ada serta mampu menahan nafsu.
Bangsa Sparta lebih mengutamakan kepada pembentukan sifat-sifat keberanian dan kesabaran serta sikap menghormati para pemimpin dan patriotism (mencintai tanah air) serta taat kepada pemerintahannya.
Bangsa Athena (Yunani Kuno) mengarahkan tujuan pendidikan pada pembentukan pribadi yang berkeseimbangan dalam aspek-aspek jasmaniah dan kecerdasan, moral dan keindahan budi. Sedangkan Aristoteles tidak setuju dengan tujuan pendidikan bangsa Sparta dan dan ia mengkritiknya dengan keras. Bangsa Sparta kemudian berkata: “Bahwa sifat keberanian suatu bangsa menjadi kuat apabila senantiasa dilakukan latihan perang-perang secara kontinu untuk tujuan peperangan”.
Sedangkan Plato memandang pembinaan warga negara yang baik ialah yang dilakukan sesuai dengan sistem pendidikan Athena, yaitu pembinaan pribadi yang memiliki kemampuan seimbang dan tidak mengurangi keutamaannya sebagai warga negara yang baik; yaitu pemberani, adil dan selaras dan berkeseimbangan dalam kehidupan.
Perlu kita ketahui bahwa sistem pendidikan Yunani dan Romawi kuno mengandung nilai pembentuk akhlak (moralitas). Namun kedua sistem pendidikan tersebut tidak berdiri diatas asas-asas keimanan kepada Tuhan yang Esa. Hanya tujuan pendidikan keagamaan sajalah yang bernilai moral seperti pada pendidikan kaum Nasrani pada abad pertengahan.
Saint Thomas Aquinas (1225-1273 M) pernah menyatakan bahwa sesungguhnya tujuan pendidikan dan tujuan hidup itu adalah merealisasikan kebahagiaan dengan cara menanamkan keutamaan akal dan akhlak (moralitas). Hegel (1770-1831 Masehi) berpendapat bahwa sebaiknya pendidikan itu berusaha untuk mendorong perkembangan jiwa kelompok dan menghindari perbuatan yang membawa kepada dorongan kebendaan (materialisme).
Jhon Dewey berpendapat: “pendidikan itu adalah pertumbuhan yang terus-menerus tanpa akhir kearah yang terbaik, dan secara praktis tergantung pada kondisi yang ada, beserta problema-problema yang dihadapi, bagi pencapai tujuan hidup masa depan yang lebih baik, sesuai dengan tuntutan hidup individual dan kelompik”. Baginya tidak ada tujuan yang statis dalam pendidikan. Dalam system pendidikan Fascisme Itali, Mussolini mewajibkan semua sekolah untuk tunduk kepada politik negara, sehinga hal ini bagi generasi mudanya menjadi sumber inspirasi mereka. Di Prancis kurikulum pendidikan di arahkan kepada pelatihan kreativitas, serta kemampuan anak didik untuk bersikap kritis, dan bersifat pragmatis. Sedangkan di Inggris, pendidikan ditujukan kepada pembinaan kemampuan berusaha yang tangguh dalam mencapai sukses pribadi dalam keadaan darurat (sulit).
Tujuan pendidikan yang telah diuraikan di atas adalah berbeda-beda karena di dasarkan atas kehidupan bangsa-bangsa dahulu dan sekarang, yang pada prinsipnya tujuan-tujuan tersebut diarahkan untuk mencapai kehidupan duniawi yang baik, yang ditekankan pada kemampuan melakukan pekerjaan praktis yang bermanfaat.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa pendidikan dalam masyarakat bangsa-bangsa di luar bangsa Arab yang Islami, terdapat tujuan pendidikan yang berkaitan antara keduniaan dan keagamaan, yaitu tujuan praktis yang bermanfaat sebagaimana terjadi di kalangan bangsa-bangsa tertentu yang bercorak keduniaan semata, dan dalam masyarakat juga mengarahkan kepada tujuan keagamaan.[3]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kalau ahli bahasa tentunya dapat memahami bahwa pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban tersebut merupakan perintah untuk berpikir dan selalu mengembangkan ilmu pengetahuan. Namun penguasaan ilmu pengetahuan tersebut harus dilandasi dengan niat yang benar, yaitu karena Allah. Tanpa niat karena Allah, maka apa yang dilakukan oleh pendidik tidak akan mempunyai arti apa-apa. Maka dapat dikatakan jika dalam terjemahan Depag belum dapat dilihat langsung perintah atau kewajiban belajar atau menuntut ilmu, kecuali bagi orang-orang yang berpikir dan meneliti tentang al-Qur’an.
Dengan demikian, paling tidak ada tiga kewajiban yang harus dijaga oleh seorang muslim dalam belajar atau menuntut ilmu, yaitu:
1) Kepercayaan dan keyakinan seorang muslim kepada gurunya, dimana guru memang layak mengajar karena telah memenuhi kualifikasi dan kompetensi dalam melaksanakan pembelajaran.
2) Tidak boleh mendahului ketetapan dan jawaban guru mengenai persoalan apa saja yang timbul dalam proses pembelajaran.
3) Seorang peserta didik, terutama dalam proses pembelajaran, tidak boleh meninggikan suaranya sehingga mengalahkan suara guru karena hal itu dapat mengganggu proses pembelajaran.
Peserta didik tidak layak memanggil guru seperti memanggil teman sebaya. Hadits yang selanjutnya menerangkan tentang keutamaan orang yang berilmu. Orang yang mempunyai ilmu lebih berat untuk digoda menurut setan daripada ahli ibadah yang jumlahnya seribu. Hadits terakhir yang penulis kemukakan dalam subbab ini adalah hadits mengenai kewajiban mencari ilmu bagi seluruh umat Islam. Sekarang ini umat Islam sudah mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan golongan orientalis. Maka dari itu untuk mengejar ketertinggalan tersebut kita sebagai umat Islam harus senantiasa gemar mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa pendidikan dalam masyarakat bangsa-bangsa di luar bangsa Arab yang Islami, terdapat tujuan pendidikan yang berkaitan antara keduniaan dan keagamaan, yaitu tujuan praktis yang bermanfaat sebagaimana terjadi di kalangan bangsa-bangsa tertentu yang bercorak keduniaan semata, dan dalam masyarakat juga mengarahkan kepada tujuan keagamaan.
B. Saran
Pemakalah merasa berkewajiban untuk menggaris bawahi bahwa apa yang terdapat didalam makalah ini hanyalah sekelumit dari kewajiban belajar.
Memang tidak mudah memaparkan segala sesuatu tentang kewajiban belajar. Namun kami berusaha semampu kami agar makalah ini dapat tersusun sesuai dengan materi kewajiban belajar. meskipun masih ada kekurangan-kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu saran dan kritik sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah kami kedepannya.
[1]Ahmad Izzan, Saehudin, Tafsir Pendidikan: Studi Ayat-Ayat Berdimensi Pendidikan, Tanggerang: PAM press, Hlm 129-130
[2]Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi: Pesan-pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan, Jakarta: AMZAH, hlm. 75-77.
[3]Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: PTRineka Cipta, 2009), hlm. 36-43
No comments:
Post a Comment